Secara lokal, populasi gajah ini sudah menempati ratusan atau ribuan tahun lampau di lokasi tersebut. Kemudian, tumbuhnya pembangunan dan kebutuhan hidup, mendorong masyarakat mulai menguasai lahan tersebut. Konflik gajah dengan manusia tak terelakkan.
Kerugian akibat konflik dapat dikenai oleh kedua belak pihak. Manusia merasakan kerugian akibat rumahnya dihancurkan atau kebunnya dirusak atau dimakan oleh gajah. Sang gajah rugi akibat lahan tempat makannya hilang, atau tidak ada tempat mendapatkan garam dan air. Fatalnya, kematian atau luka dapat terjadi untuk keduanya.
Sebagian masyarakat terutama pekebun, gajah dianggap hama tak ubahnya dengan babi hutan. Sebagian buku-buku pedoman pertanian atau perkebunan menyatakan demikian. Sehingga, paradigma gajah musuh masyarakat dan sebaliknnya menjadi tak terelakkan. Konflik terus terjadi dan hampir tak ada penyelesaian.
Bagaimana Mengatasinya?
Mengatasi gajah masuk kebun atau pemukiman adalah persoalan yang memang sulit. Gajah sendiri bukanlah hewan yang dapat diatur apalagi sesuai keinginan manusia, tetapi justru manusialah yang sebaiknya mengatur dirinya dan kawasannya agar konfik dapat tereliminir (dikurangi).
Bagi masyarakat pekebun atau petani diharapkan dapat mengenal cara-cara mitigasi konflik yang baik terutama memahami tiga cara yaitu deteksi dini terhadap keberadaan gajah, melakukan mitigasi konflik secara baik dan upaya pencegahan agar gajah tidak masuk kebun atau tidak merugikan masyarakat.
Deteksi dini adalah cara yang efektif untuk melakukan mitigasi tahap awal. Bagi masyarakat pekebun atau petani, melakukan monitoring kebun adalaha hal yang penting. Disamping masyarakat ini mengetahui kondisi kebunnya terutama dari penjarahan, deteksi keberadaan gajah di lokasi adalah awal untuk mitigasi konflik.
Di masyarakat, unit-unit mitigasi dalam skala kecil atau kelompok masyarakat yang mandiri dapat dibangun. Kelompok ini yang dapat melakukan mitigasi dalam hal pengusiran gajah secara sederhana. Kelompok ini membangun jaringan-jaringan unit mitigasi konflik di tingkat pemerintah atau pemerhati gajah, terutama untuk belajar atau meningkatkan kapasitas atau juga memperoleh bantuan dalam hal mitigasi konflik apabila tidak dapat menanggulangi pengusiran gajah.
Pergerakan unit-unit mitigasi konflik ditingkat masyarakat tergantung dari kecepatan deteksi dini dari masyarakat. Semakin cepat deteksi dini, masuknya gajah ke lahan atau pemukiman dapat dengan cepat diatasi atau semakin menurunkan angka kerugian. Mitigasi konflik di tingkat masyarakat adalah teknik-teknik pengusiran misalnya dengan menggunakan meriam karbit atau bunyi-bunyian yang memekakkan telinga.
Di beberapa tempat dengan menggunakan pagar listrik arus lemah. Dengan teknik pengusiran dengan bunyi-bunyian yang tepat, dapat mengusir gajah secara optimal. Di beberapa tempat di Riau, mitigasi konflik dilakukan dengan menggunakan gajah tunggang, misalnya unit-unit flying squad di sekitar Tesso Nilo atau unit mobile squad di Duri. Mereka-mereka ini memang tim kerja yang fokus pada mitigasi konflik untuk melakukan pengusiran dan penggiringan gajah ke habitat asalnya.
Sebenarnya, yang penting juga adalah upaya pencegahan terhadap konflik sendiri dengan melakukan pengaturan lahan dan masyarakat. Komoditas-komoditas pertanian dan kebun yang rawan kerusakan oleh gajah adalah sawit, karet, nanas, semangka ataupun padi-padian. Komoditas-komoditas ini patut dihindari ditanam di wilayah habitat atau jelajah gajah.
Banyak kasus masyarakat menanam sawit, habis dimakan atau dirusak gajah dan itupun berkali-kali masyarakat menanam, tetap habis dimakan gajah. Solusinya adalah menggantikan tanaman yang rawan dari gajah dengan jenis-jenis yang ekonomis tetapi tidak dimakan atau dirusak gajah misalnya singkong, jeruk atau dibeberapa tempat dipercaya adalah cabai.
Di Balai Raja, beberapa masyarakat mulai mengubah penanaman sawit menjadi singkong dan mereka merasakan bahwa tanaman meskipun beberapa yang masih rusak tetapi tidak dimakan gajah. Selain itu, masyarakat dapat memetakan lokasi-lokasi untuk tempat makanan gajah dan air, misalnya menanam pisang di beberapa tempat sekitar air atau sungai atau jenis bambu-bambuan atau rumput rumputan yang menjadi makanan gajah. Tujuannya adalah mencegah atau mengurangi konflik karena kebutuhan pakan gajah dapat diperoleh di lokasi-lokasi ini.
Kontribusi mencintai gajah
Upaya membunuh gajah adalah kriminal, karena pelaku dapat diganjar hukuman maksimal 5 tahun kurungan. Selain itu, kita sebagai manusia memang diharapkan untuk menjaga alam ini dari kerusakan atau kemusnahan. Kontribusi melindungi gajah dan mencintai gajah adalah hal yang penting.
Di beberapa tempat, kelompok – kelompok masyarakat terpanggil untuk memberikan perlindungan gajah, misalnya dengan melakukan mitigasi konflik sceara sederhana agar gajah tidak masuk kebun dan dilukai masyarakat, melakukan penanaman pakan-pakan gajah disekitar ladang atau kebun masyarakat. Kemudian, ada juga yang secara sukarela memantau keberadaan dan kondisi gajah, apabila sakit, dilaporkan kepada petugas kehutanan.
Upaya-upaya ini perlu didukung oleh masyarakat luas sehingga mendorong pula berbagai elemen masyarakat membantu terutama untuk pencegahan terhadap konflik gajah manusia dan aspek perburuan gajah untuk gading.
Penulis : Wishnu Sukmatoro, WWF Indonesia Central Sumatra Manager program.
Sumber : Kompasiana.com
One comment
Pingback: Workshop Desain Intervensi Habitat Gajah Di DAS Peusangan - Aceh Insight