Acehinsight.com – Bencana Tsunami yang terjadi pada 2004 lalu telah merusak sebagian besar tanaman mangrove (bakau) yang berada di kawasan pesisir Aceh, untuk itu dibutuhkan kesadaran dan kepedulian dari semua pihak melakukan penanaman kembali tanaman yang sangat bermanfaat bagi pengurangan resiko bencana yang sewaktu-waktu dapat mengancam keselamatan masyarakat. Dengan adanya pohon bakau disekitar pinggiran pantai dapat mengurangi hantaman gelombang besar tidak hanya tsunami namun juga air laut pasang.
Keberadaan hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan di wilayah pesisir. Keberadaan hutan mangrove sebelum terjadinya tsunami pada 2004 silam sangatlah berkembang pesat. Dikarenakan ekosistem mangrove menjadi sangat penting karena sangat potensial dalam menunjang kehidupan mansyarakat baik dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan hidup.
Menurut Dewi Nopita Sari, Marine Fisheries Policy WWF-Indonesia mengatakan, bahwa keberadaan hutan mangrove sebelum dan sesudah tsunami sangatlah berbeda. Akibat tsunami pada 2004 silam, luasan hutan mangrove kian menyusut. Bahkan, di pantai barat Aceh, kerusakan mangrove mencapai 75 persen hingga 100 persen.
“Dikarenakan bentang mangrove di Aceh hanya tinggal di pesisir timur, yang kini tinggal 19.000 hektar hingga 20.000 hektar. Maka dari itu, mulai dari tahun 2005 sampai 2009, WWF-Indonesia bekerja sama dengan Wetlands International melakukan penanaman kembali hutan mangrove melalui program green cost,” ujar Dewi.
WWF Indonesia Dan Tupperware
Pada tahun 2013, salah satu bentuk kepeduliaan terhadap lingkungan ditunjukkan oleh kelompok perempuan binaan WWF Indonesia yang bermukim di desa Lam Ujong kecamatan Baitussalam Aceh Besar. WWF Indonesia yang bekerjasama dengan Tupperware melakukan program ini khusus untuk kelompok perempuan di kawasan pesisir Aceh Besar.
Untuk saat ini pihaknya membantu bibit ke kawasan perkampungan, untuk dua kelompok perempuan sebanyak 5.000 bibit bakau yang ditanami sekitar 15 orang di desa itu.
Kegiatan ini didukung oleh mitra korporasi WWF-Indonesia yaitu Tupperware. Melalui program ini, Tupperware mendonasikan 5.000 mangrove untuk ditanamkan di Desa Lamnga. Peluncuran program penanaman mangrove di Aceh Besar mendapat dukungan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Besar. Meskipun WWF-Indonesia dan perempuan di desa Lamnga sudah melakukan penanaman puluhan bibit bakau, namun tidak semuanya dapat tumbuh subur.
“Pohon bakau yang ditanam di desa Lamnga tidak semuanya dapat tumbuh. Dikarenakan beberapa faktor seperti kurangnya kesuburan tanah terhadap jenis bakau yang ditanam, hewan ternak meskipun sudah dipangar dan lainnya. Makannya mangrove yang tumbuh di desa Lamnga hanya sekitar 70 persen saja,” ungkap Dewi.
Rehabilitasi hutan mangrove yang dilakukan WWF Indonesia, menurut dia, memang baru di mulai di tahun 2013. Guna memastikan keberhasilan dari penanaman pohon tersebut pihaknya melakukan pemantauan secara rutin. WWF Indonesia menargetkan penanaman mangrove di lahan seluas lebih dari 500 hektare (ha) dalam lima tahun ke depan.
Menurutnya, kegiatan ini selain rehab mangrove, juga meningkatkan perekonomian kelompok perempuan. “Selain melakukan sosialisasi tentang mangrove, setiap bulan kita juga ada buat diskusi dengan mereka seperti edukasi cara menjaga, merawat dan memanfaatkan bagaimana cara mengolah magraove menjadi barang yang bernilai,” demikian kata Dewi.
Dikatakan, sejak 27 Februari 2013, Earth Hour Aceh telah melaksanakan berbagai kegiatan bersama lebih dari 20 komunitas pendukung seperti aksi bersih pantai, sosialisasi ke sekolah dan kampus, menanam pohon, dan bersepeda.
“Selain melibatkan perempuan desa Lam Ujong, aksi tanam bakau juga melibatkan komunitas anak muda. Karena dengan hal ini, kita ingin menggugah kepedulian untuk peduli pada lingkungan,” tutur Dewi Nopita Sari.
MyBabyMangrove
World Wide Fund (WWF) Indonesia sebagai aliansi masyarakat pemerhati lingkungan hidup kini mulai memfokuskan ke rehabilitasi lahan kritis pesisir di Indonesia. Pada bulan April 2015, Bank Central Asia bekerjasama dengan World Wide Funds for Nature (WWF) menanam 3.000 bibit tanaman mangrove jenis Avicennia sp di Desa Lam Ujong, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar.
“Dalam penanaman Mangrove, WWF-Indonesia menjadi penyambung antara publik dan korporasi seperti BCA. Ini juga masuk ke dalam bagian program WWF yakni NEWtrees dalam upaya pelestarian lingkungan hidup di daerah pesisir,” ungkap Dewi Nopita Sari, Marine Fisheries Policy WWF-Indonesia.
Pengelolaan kawasan pesisir sudah saatnya menjadi perhatian semua pihak. Pembangunan di kawasan pesisir tidak perlu merusak ekosistem mangrove asalkan dilakukan penataan yang rasional. Masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang sehari-hari berinteraksi dengan mangrove. Salah satu model pengelolaan ekosistem mangrove adalah dengan pendekatan pengelolaan yang berbasis masyarakat.
“Melalui program “My Baby Mangrove” sampai lima tahun ke depan, kami berharap dapat melakukan (penanaman di) lebih dari 500 hektare (lahan) yang berada di Aceh. Dan khususnya di pantai barat Aceh Besar, itu menjadi prioritas WWF Indonesia sampai saat ini,” lanjut Dewi.
Ekosistem mangrove di Aceh terancam punah apabila tak ada upaya restorasi dan penataan yang serius dari pemerintah. Menurut hasil temuan WWF-Indonesia, dalam kurun waktu 40 tahun terakhir, laju kehilangan tutupan mangrove di Aceh mencapai 750 hektar hingga 1.000 hektar per tahun.
Penanaman mangrove juga bekerjasama dengan kelompok masyarakat Lam Ujong. Manfaat yang dihasilkan dari mangrove jenis Avicennia sp antara lain, buahnya yang asam dapat langsung dimakan atau untuk dibuat cuka.
Dewi juga mengatakan, pohon jenis ini akan semakin besar dan bertahan hingga puluhan tahun.
“Jenis Avicennia ini bisa tumbuh hingga 50 tahun dan semakin membesar, buahnya bisa dimanfaatkan, saya dengar pun sekarang bisa untuk bahan olahan kue,” kata Dewi.
Menurut Dewi, dalam jangka waktu lima tahun, mangrove tersebut sudah menghasilkan buah dan siap untuk dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar, dan jenis tersebut dipilih berdasarkan kebutuhan lokasi lahan yang akan ditanami seperti pada lahan tambak.
“Program “My Baby Mangrove” merupakan program adopsi pohon yang dapat diikuti oleh siapa saja, masyarakat Indonesia, melalui donasi off-line dengan membeli satu bibit pohon, yang dinamai “My Baby Mangrove”,” lanjut Dewi.
Lebih lanjut ia juga menuturkan, bahwa setiap “My Baby Mangrove” yang ditanam akan langsung diberi nama orang atau pihak yang mengadopsi bibit pohon tersebut, kemudian difoto dan dilengkapi perangkat GPS, dan di-upload melalui aplikasi online.
“Melalui NEWtrees, mangrove-mangrove yang ditanam ada jaminan untuk terus tumbuh kedepannya. Karena dipantau melalui geotag monitoring yang bisa dilihat melalui google map. Dengan begitu, apabila ada donatur-donatur yang ingin menyumbang untuk pelestarian mangrove, kita persilahkan,” pungkasnya.
“Rehabilitasi lahan kritis pesisir dengan penanaman Mangrove merupakan bagian dari program NEWtrees yang diinisiasi oleh WWF Indonesia. Program ini berorientasi pada perbaikan fungsi ekosistem prioritas di tingkat bentang alam,” tutup Dewi.
Film Ta Pula Bangka, Ta Ceugah Bencana
Sebagai bentuk dokumentasi dari program NEWtrees “MyBabyMangrove” di Aceh Besar, WWF Indonesia berserta para donatur mempersembahkan sebuah Film Dokumenter mengenai pentingnya menanam mangrove untuk mencegah terjadinya bencana.
Saat ditanya soal thriller film “Ta pula Bangka Ta ceugah bencana” yang sudah rilis, Dewi mengatakan bahwa tujuan dari pembuatan film dokumenter tersebut adalah sebagai media untuk mendokumentasi semua kegiatan program mangrove yang sudah dilakukan selama ini oleh pihaknya.
“Kebetulan yang baru dirilis itu cuma thriller-nya, untuk film full version-nya di tunggu aja. Intinya, kita semua harus tetap mendukung dan menjaga kelestarian hutan mangrove,” tutup Dewi Nopita Sari.
One comment
Pingback: Melalui Geotag, Mangrove Pesisir Aceh Tak Sekedar Penjaga Serangan Abrasi - Aceh Insight