Acehinsight.com – Kekerasan dan perdagangan ilegal terhadap satwa, beberapa tahun ini menjadi isu hangat di kalangan masyarakat. Tidak sedikit satwa yang dilindungi menjadi sasaran empuk sebagai alasan untuk memperoleh penghasilan ataupun sebagai koleksi pribadi. Transaksi jual beli satwa tradisional dilakukan dengan tawar menawar secara langsung, atau melalui media sosial seperti Facebook, Twitter dan Instragram lalu berlanjut melalui media chatting seperti blackberry messenger dan whatsapp messenger.
Inilah salah satu alasan yang mendorong WWF Indonesia Northern Sumatra Progam bersama gerakan Earth Hour Aceh mengadakan kegiatan Diskusi Kejahatan Satwa Liar bersama Komunitas, Mahasiswa dan MAPALA, pada Rabu 24 Mei 2017, di 3 in 1 Coffee, Lampineung, Banda Aceh.
Diskusi yang dihadiri berbagai komunitas tersebut, menghadirkan pemateri seperti Chairul Saleh, Koordinator Wildlife Crime Team WWF Indoensia dan Kamaruzzaman dari Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum (Gakkum) KLHK Wilayah Sumatera. Tujuannya adalah meningkatkan kepedulian, memberikan informasi dan peluang bagi mahasiswa serta anak muda untuk ikut serta berperan langsung dalam melindungi satwa di Indonesia serta Aceh khususnya.
“Perdagangan satwa liar dapat berupa satwa hidup dan satwa mati seperti perdagangan harimau dan gading gajah di Sumatera yang memiliki nilai jual tinggi,” kata Chairul Saleh.
Menurut Chairul, saat ini modus kejahatan terhadap satwa juga semakin beragam hingga menyentuh ranah dunia maya. Unggahan tersebut menggunakan media sosial Facebook yang ramai digandrungi masyarakat Indonesia.
“Kita ini kan pengguna Facebook terbesar di Asia Tenggara. Dengan menggunakan media sosial terkenal ini, mereka (penjual) akan jaring pembeli. Dari situ mereka akan melanjutkan komunikasi menggunakan Blackberry messenger (BBM) atau whatsapp messenger (WA) untuk kemudian disampaikan nomor rekening dan bertransaksi,” ujarnya.
Undang-undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya masih menjadi patokan dalam vonis kejahatan terhadap satwa liar. Penerapan hukuman kejahatan adalah maksimal lima tahun penjara dan denda Rp100 juta. Namun, hal ini tidak membuat para pelaku menjadi jera.
Galeri Foto Diskusi Kejahatan Satwa Liar Dilindungi Bersama Komunitas
“Kenyataanya kejahatan satwa liar ini kenapa diburu karena nilainya yang tinggi namun resikonya kecil. Dimana pidana yang ditetapkan hanya berkisar masa percobaan sekitar 8 bulan sampai 5 tahun. Dan untuk kasus di Aceh, vonis tertinggi itu sekitar 3 tahun penjara,” kata Chairul.
Chairul mengungkapkan bahwa mahasiswa pun dapat turut serta mencegah perdagangan dan tindakan kejahatan terhadap satwa liar di antaranya tidak membeli satwa liar, atau melaporkan kepada pihak yang bertanggung jawab apabila menemukan perdagangan satwa ilegal.
“Bagi teman-teman mahasiswa, komunitas dan MAPALA yang melihat atau ingin melaporkan terkait kejahatan satwa liar ini, silahkan mengirim laporan untuk ditindak lanjuti pihak Kepolisian Daerah (POLDA) Aceh melalui nomor 08116771010,” tegas Chairul.
Sementara itu, Kamaruzzaman dari Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum (Gakkum) KLHK Wilayah Sumatera, menyatakan telah memantau perdagangan satwa langka melalui media sosial seperti Facebook dan Instagram sejak beberapa tahun terakhir.
“Yang lebih penting, kami juga ingin menunjukkan, bahwa siapa pun yang melanggar hukum, maka ia akan mendapat sanksi yang tegas,” ujarnya.
Kamaruzzaman menambahkan, beberapa kedok pelaku kejahatan satwa liar ditutupi oleh pengakuan sebagai komunitas pencinta satwa. Mengungkap praktik perdagangan ilegal di dunia maya juga lebih sulit karena penting bagi penyidik untuk mendapatkan bukti fisik.
Lebih lanjut, kata Kamaruzzaman bahwa Balai Gakkum KLHK telah bekerjasama dengan beberapa media sosial untuk dapat mengidentifikasi dan menghapus akun-akun yang memuat perdagangan satwa yang dilindungi.
“Kita khawatir bahwa keberadaan media sosial dan smartphone bisa membuat perdagangan satwa liar dilindungi semakin marak, karena para penjual bisa dengan mudah menemukan pembeli dalam jumlah yang banyak,” ungkapnya.
Pelaku kejahatan terhadap satwa liar, lanjut Kamaruzzaman juga melibatkan kelompok-kelompok yang saling bahu-membahu dalam beraksi alias sudah terorganisir. Hal ini menurutnya tidak lepas dari besaran transaksi yang bisa mencapai triliunan rupiah.
“Kami yakin perdagangan ini juga dilakukan antarnegara, dengan skema paling sederhana adalah koneksi dengan pembeli. Oleh karena itu, kejahatan satwa liar bukan hanya menjadi kasus satu negara saja, namun juga menjadi masalah internasional,” kata Kamaruzzaman.
Pada kasus yang rumit hingga melibatkan jaringan internasional, seringnya aparat penegak hukum hanya bisa menyentuh hingga level distributor yang merupakan masyarakat umum. Lebih rumit lagi, jika perdagangan bagian-bagian tubuh satwa yang dilakukan ilegal telah masuk ke pasar-pasar satwa.
“Melihat saat ini Indonesia telah menjadi target besar pasar jaringan internasional perdagangan ilegal, sudah semestinya kerjasama antarlembaga seperti aparat penegak hukum (POLRI/TNI), kejaksaan, KLHK, LSM dan organisasi tekait perlu ditingkatkan,” ujarnya.
Pada kesempatan diskusi ini, dirinya menyatakan bahwa bukan hanya pemerintah dan aparat penegak hukum saja yang memerlukan kesadaran untuk memburu kejahatan terhadap satwa liar, tetapi peran masyarakat juga menjadi corong utama bagi aparat untuk mendapatkan informasi.
“Makin banyak masyarakat yang mengetahui status konservasi dari satwa tersebut, makin banyak kasus yang bisa diungkap aparat penegak hukum. Ayo, perangi dan berantas perdagangan satwa liar dilindungi di media sosial maupun yang terjadi disekitar kita,” tutup Kamaruzzaman. []
One comment
Pingback: Galeri Diskusi Kejahatan Satwa Liar Dilindungi Bersama Lintas Komunitas - Aceh Insight