Templates by BIGtheme NET
Home » Artikel » Tren Perdagangan Satwa Liar Kian Marak

Tren Perdagangan Satwa Liar Kian Marak

Acehinsight.com – Belakangan ini, isu Kejahatan Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL) atau yang sering disebut Wildlife Crime sedang ramai dibicarakan. Pada April lalu, Presiden Joko Widodo membuka Gerakan Nasional Penyelamatan Tumbuhan dan Satwa Liar dalam rangkaian acara Hari Bakti Rimbawan, Hari Lingkungan Hidup, dan Hari Hutan Internasional (HHI) 2016. Kemudian, pada bulan Juni ini Hari Lingkungan Hidup Internasional  juga mengangkat tema yang sama yaitu Zero Tolerance for Illegal Wildlife Trade. Banyak media yang kemudian menyoroti isu ini baik dari nasional maupun internasional. Selain itu, beberapa NGO dan juga badan PBB seperti UNEP dan UNODC juga gencar membicarakan isu ini. Lalu, sebenarnya seberapa pentingkah isu ini untuk dijadikan sorotan pemerintah?

Dalam UU 05/1990 sendiri sudah diatur bahwa segala tindakan menangkap, melukai, membunuh, mengangkut, memperniagakan, menyimpan, dan memelihara bagian satwa, satwa hidup, maupun tumbuhan yang dilindungi merupakan suatu tindak kejahatan terhadap Tumbuhan dan Satwa Liar. Pelaku perdagangan TSL akan diberikan hukuman maksimal 5 tahun penjara dan denda sebesar Rp 100.000.000. Namun, hukuman tadi tidak juga membuat jera para pelaku kejahatan TSL ini. Dari banyaknya kasus perdagangan satwa di Indonesia, rata-rata jumlah hukuman yang diberikan kepada pelaku hanya 3 bulan saja. Tentu, hal ini tidak sebanding dengan kerugian yang dialami Indonesia, dilihat dari nilai ekonomi maupun kerugian ekosistem. Kejahatan satwa ini banyak digemari karena keuntungannya yang besar dan resiko yang kecil. Tidak heran, jika belakangan ini muncul istilah ‘silent forest’ dimana, hutan-hutan di Indonesia menjadi sepi dan sunyi karena populasi satwa yang ada didalamnya berkurang.

Pemusnahan barang bukti satwa liar, Senin 23 Mei 2016, di Banda Aceh. (WWF-ID)

Pemusnahan barang bukti satwa liar, Senin 23 Mei 2016, di Banda Aceh. (WWF-ID)

Selain faktor ekonomi dan lemahnya penegakkan hukum, terus terjadinya kejahatan satwa didorong oleh permintaan pasar yang tinggi akan satwa atau bagiannya sebagai simbol gengsi ataupun untuk dipelihara dirumah. Persepsi  mencintai hewan harus dijadikan hewan peliharaan dirumah merupakan suatu persepsi yang mesti diluruskan di masyarakat. Karena, dengan kita mengambil satwa liar dari habitatnya kita sama saja mempercepat kepunahan satwa. Selain itu, pengambilan satwa dari habitat aslinya dapat mengganggu keseimbangan rantai ekosistem di bumi dimana, dapat menjadi bencana bagi kelancaran hidup manusia pula. Seperti kehadiran Burung Rangkong yang berperan sebagai penebar benih di hutan yang membuat penyebaran biji pohon merata dan dapat memperbanyak jumlah pohon. Bayangkan jika Burung Rangkong sudah punah, hutan tidak akan selebat saat ini dan kebutuhan makhluk hidup akan kayu, oksigen, penyerapan air dalam tanah tidak dapat dipenuhi.

Di era digital seperti saat ini, bisnis perdagangan satwa mulai merambah modus baru yaitu perdagangan online. Media online dipilih sebagai media yang tepat dikarenakan hanya membutuhkan modal internet dan perangkat elektronik seperti smartphone atau laptop. Selain itu, iklan yang diunggah pun dapat dilihat oleh semua pengguna media sosial baik lokal maupun internasional dengan waktu yang tidak terbatas. Penggunaan tagar pun juga mempermudah pedagang dalam menjual satwa dagangannya. Di Indonesia sendiri, WWF Indonesia sudah menemukan lebih dari 80 iklan penjualan satwa hidup ataupun bagiannya di situs e-commerce Indonesia. Bagian satwa yang paling banyak diperdagangkan secara online adalah gading gajah yang sudah dipahat menjadi pipa rokok yang dibandrol dengan harga ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Diikuti dengan tulang dan gigi dugong yang juga dibuat sebagai bahan dasar pipa rokok dan yang terakhir adalah bagian tubuh atau awetan harimau.

Selain situs e-commerce, penjualan satwa melalui media sosial juga sedang marak-maraknya. Seperti penggunaan grup facebook, instagram, atau blackberry messenger. Dalam media sosial ini, satwa yang diperdagangkan biasanya adalah satwa yang masih hidup. Pedagang biasanya menghindari bertatap muka secara langsung seperti COD (Cash on Delivery). Pembeli hanya memilih satwa yang diinginkan melalui foto yang diunggah kedalam media sosial dan diminta untuk mentransfer uang kepada sang pedagang. Ketika transaksi sudah dikonfirmasi, biasanya satwa akan dikirim melalui kurir dan tidak diantar secara langsung oleh pedagang demi alasan keamanan si pedagang. Satwa yang banyak diperdagangkan di media sosial antara lain: Burung Elang, Burung dari keluarga Paruh Bengkok seperti Kakaktua Jambul Kuning, dan Primata.

Kemudahan mengunggah dan mengakses situs online serta memalsukan identitas pedagang membuat perdagangan satwa di situs online sulit untuk dihentikan. Walaupun beberapa situs e-commerce sudah membuat regulasi mengenai pelarangan penjualan satwa dilindungi namun, dalam prakteknya sendiri masih banyak pedagang yang dapat menjual satwa hidup atau bagiannya di dalam situs online secara bebas. Selain dari pemilik situs online, pemerintah juga seharusnya dapat melihat permasalahan ini dengan serius karena tanpa adanya integrasi antar pihak, penekanan angka perdagangan satwa akan sulit untuk dilakukan. WWF Indonesia berharap bahwa masyarakat sudah mulai membuka mata dan tidak lagi merasa bangga memiliki bagian satwa ataupun satwa dilindungi yang masih hidup, karena hal yang dilakukan tersebut merupakan sebuah kejahatan yang sanksinya adalah ancaman pidana. Maka dari itu, melindungi keseimbangan rantai ekosistem di bumi adalah hal yang penting dan membutuhkan usaha dari seluruh pihak mulai dari masyarakat, penegak hukum, dan NGO lain. [Jovita A Putri/ WWF-Indonesia]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

ăn dặm kiểu NhậtResponsive WordPress Themenhà cấp 4 nông thônthời trang trẻ emgiày cao gótshop giày nữdownload wordpress pluginsmẫu biệt thự đẹpepichouseáo sơ mi nữhouse beautiful