Seorang petani tambak di Lam Ujong, pinggirang kota Banda Aceh berjuang mengujaukan kembali 35 hektar kawasan pesisir Aceh setelah tsunami dengan 300 ribu batang pohon yang disemaikannya. Pendidikan terakhirnya hanya sekolah dasar, tetapi pengetahuannya tentang bakay sangat luas. Azhar, demikian ia biasa disapa. Sosoknya sederhana, tetapi menyimpan energi dan ketegaran luar biasa. “Hanya ini yang bisa saya lakukan setelah musibah tsunami,” kata pria yang terpilih menjadi pembawa obor Olimpiade Beijing ini.
Pasca tsunami, Aceh luluh lantak dan bisa dikatakan hancur total. Dahsyatnya air laut yang menghantam daratan tidak hanya merusak gedung-gedung dan rumah warga, tetapi juga hutan-hutan bakau yang hijau dan rimbun. Mendadak, wilayah pinggiran pantai Aceh menjadi kering kerontang, gersang, laksana daratan tandus. Tsunami tidak hanya merenggut seratus ribu lebih nyawa, tapi juga menghancurkan usaha tambak di seluruh pesisir utara dan barat Aceh.
Kini, pasa 10 tahun tsunami, hutan-hutan bakau kembali rimbun di pesisir Aceh, salah satunya di Desa Lam Ujong, kecamatan Baitussalam, Aceh Besar. Tumbuhan dari marga Rhizophora, suku Rhizophoraceae ini tentu tak tumbuh dengan sendirinya, tetapi ada tangan-tangan dingin yang peduli kepada kelestarian lingkungan, khususunya bakau. Pohon-pohon bakau setinggi 1-2 meter itu kini berdiri kokoh menantang angin. Daunnya yang hijau menjadi penyejuk mata saat melintasi wilayah pesisisr Aceh yang terik.
Mengenal Bakau Sejak Kecil
Perawakannya sedang, namun wajah dan kulitnya mencerminkan sosok laki-laki pekerja keras. Berkulit hitam legam, bapak tiga orang anak ini seolah tak lagi memedulikan teriknya panas matahari yang memanggang kepala. Menyusuri tambak dan hutan bakau dilakukannya setiap hari. Ia harus memastikan tambak ikannya cukup air dan tetap hidup. Ketika menemukan pohon bakau muda yang tumbuh secara alami di pinggiran tambak, ia pun segera mencabutnya dan memindahkannya ke areal sekitar yang masih gersang. “Agar tumbuhnya merata. Di mana belum banyak bakaunya, di situ saya tanam,” ujarnya beralasan.
Sejak usia 15 tahun Azhar sudah akrab dengan bakau. Tambaklah yang memperkenalkannya dengan bakau. Pekerjaannya sebagai penunggu dan pengelola tambak (sistem bagi hasil) membuatnya tak lagi asing dengan tanaman bakau, yang dalam bahasa Aceh disebut bak bangka. Ia lebih banyak tinggal di tambak daripada di rumah. Saat itu ia sudah mulai menanam bakau dari buah-buah bakau yang melimpah, meski tak paham betul tentang bakau. Dalam benaknya saat itu, menanam bakau berarti melindungi tambaknya dari gerusan pasang-surut air laut yang kerap melanda. “Pemilik tambak juga bilang, kalau kita menanam bakau, daun dan buahnya yang jatuh bisa menjadi pupuk dan humus, itu bisa menjadi makanan ikan dan udang,” kata Azhar mengenang.
Petani tambak di Aceh menanam bakau di pematang (dinding pemisah antara satu kolam dengan kolam tambak yang lain) dan di tengah kolam. Tujuannya agar udang dan ikan bisa bertelur dan mencari makan di situ. Sapa nyana, kebiasaan itu terus terpatri dalam diri Azhar hingga dewasa.
Saat tsunami menerjang Bumi Seuramoe Mekkah (26 Desember 2004), Azhar dan keluarganya memang selamat, tetapi tidak dengan rumah dan lima hektar tambak sewa yang dikelolanya. Mata pencahariannya pun terenggut. Hidupnya kala itu praktis mengandalkan uluran tangan pihak lain (pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat).
Bermodalkan tekad, ia pun mulai mengumpulkan buah-buah bakau yang tersisa dari kegananasan tsunami, kemudian menanamnya. Sang istri pun sempat memakinya, dan orang-orang pun menganggapnya kurang waras. “Orang lain nyari uang, kamu malah nyari buah bakau,” begitu omelan Nurbayani, sang istri kala itu. Azhar bergeming. Baginya menanam bakau merupakan salah satu upaya menata kehidupannya, sekaligus pembuka pintu rezeki dan wawasannya kelak.
Dampak Tsunami
Tsunami telah mengakibatkan perubahan bentang alam yang cukup serius, seperti hilangnya daratan dan terbentuknya rawa-rawa pesisir. Selain memakan korban jiwa, juga telah menghancurkan vegetasi mangrove yang ada di pesisir timur dan barat Provinsi Aceh. Besarnya kerusakan hutan mangrove menurut Lembaga Penelitian dan Antariksa (Lapan) tahun 2005 di Aceh mencapai 32.000 hektar lebih, yang terdiri dari wilayah Banda Aceh, Lhokseumawe, Aceh Jaya, Aceh Singkil, Aceh Tamiang, Aceh Timur, Pidie, Aceh Barat Daya, Aceh Barat, Aceh Besar, dan Simeuleu.
Tak terkecuali tambak dan hutan bakau di wilayah tempat tinggal Azhar di Desa Lam Ujong, pinggiran kota Banda Aceh. “Saat tsunami semua tambak dan tanaman bakau habis semua. Saya kemudian ngungsi dan tinggal di barak,” kata Azhar, “waktu di barak, makanan dan bantuan banyak, saya nggak tahu mau buat (kerja) apa. Akhirnya terpikir untuk cari buah bakau. Dapat sekitar 30 ribu buahnya. Bingung juga, nggak tahu mau buat apa. Pokoknya saya kumpulin aja, mungkin nanti dinas terkait mau bantu saya. Itu niatan saya waktu itu.” Setelah tinggal di barak selama 3 bulan, Azhar kemudian memutuskan kembali ke kampung halamannya. “Istri marah saya cari buah bakau tiap hari, dibilang orang gila. Karena orang lain kan cari uang, saya malah cari bakau,” kenangnya geli.
Saat itu hanya terpikir untuk menanam bakau agar tanaman itu tidak punah. Tapi Azhar tak menemukan biji-biji bakau di desanya. Selama tiga bulan ia berkeliling dari satu desa ke desa lain, bahkan hingga ke Pidie, 100 km dari Banda Aceh. “Bakau tambak di Pidie tidak terlalu parah dihantam tsunami,” katanya. Dan mulailah dia menyemaikannya di lahan tambaknya semula. Enam bulan berikutnya batang-batang bakau pun sudah mulai menghijau.
Siapa sangka, niat mulianya pun menuai dukungan. Tahun 2005, salah satu NGO yang berkonsentrasi kepada pelestarian lingkungan dan bakau (Wet Land) tertarik dan menjadikannya mitra untuk memulai konservasi tambak-tambak bakau di sekitar tempat tinggalnya yang memang berbatasan dengan laut. “Dia lihat dan survei, kemudian lihat bibit bakau saya. Mereka nanya, ‘ini bibit bapak? Mau ditanam dimana?’ Saya jelaskan kalau mau ditanam di tambak saya.” Akhirnya Wet Land pun membeli bibit-bibit bakau Azhar, sekaligus memintanya untuk menanaminya. Azhar kemudian mengajak 8 orang temannya untuk mulai menanam bakau. “Mereka beli bibit dari saya. Saya ajak 8 orang teman saya untuk nanam,“ kata Azhar. Dari situlah kemudian sikap sang istri berubah. “Saya dapat uang banyak. Saya bahkan bisa beli motor saat itu,” ujarnya bangga.
Kurang lebih tiga tahun Azhar dan Wet Land bekerja sama. Pihak Wet Land secara rutin membeli bibit-bibit bakau dan juga meminta Azhar menanamnya di sepanjang aliran sungai yang membelah desa. Sesuatu yang memang kerap dilakukannya sejak 33 tahun silam.
“Banyak orang mengatakan, bahwa kerja yang membahagiakan adalah tatkala kita melakukan hobby kita, dan kita pun memperoleh uang” – Azhar Idris
Ada beberapa jenis bakau, namun yang ditanam Azhar hanya empat jenis: rhizopora, api-api (avicennia), pedada (sonneratia) dan tanjang (bruguiera). Ini dipilih karena menurutnya keempat jenis inilah yang paling cocok di tambaknya. Rhizopora memiliki ciri batang yang pipih dan daunnya besar-besar. Jenis bakau seperti ini sangat cook untuk ditanam di tambak. Karena mudah berbuah dan daun-daunnya itu saat masuk ke dalam tambak maka bisa menjadi humus dan makanan bagi ikan-ikan di tambak. Sementara bakau avicennia berciri seperti tidak memiliki batang, rimbun laksana pohon beringin, dan akarnya cukup banyak. “Jenis ini sangat cocok di pantai, karena kuat untuk menahan gelombang air laut,” terang Azhar yang mengenal jenis-jenis bakau setelah banyak bekerjasama dengan para aktivis lingkungan, dalam maupun luar negeri.
Tujuan Azhar sendiri membudidayakan bakau dilandasi keprihatinan sekaligus kekhawatirannya jika hutan bakau di daerahnya hilang. “Kalo bukan kita yang nanam, kalo nggak dilanjutkan pembibitannya, (bakau) habis nggak ada lagi. Makanya dari batang bakau yang jatuh saya ambil buahnya dan ditanam untuk pembibitan,” tegasnya. Jika malam Azhar di pengungsian, pagi hingga sore hari ia habiskan waktunya di tambak. Bermodalkan uang dari penjualan bibit bakau, Azhar mulai menyewa tambak untuk memelihara udang dan ikan bandeng, sambil melakukan pembibitan dan menanam bakau hingga tambaknya pun rimbun kembali. “Waktu nanam nggak tahu kalau bibitnya bakal dibeli Wet Land,” jelasnya.
Dari 6 hektar luas tambak yang dikelolanya, Azhar tidak hanya menanam di lingkungan itu saja, tetapi juga di sepanjang jalur sungai menuju laut. Ia juga bersedia menanam bakau di tambak-tambak milik orang lain asal sang pemilik mengijinkannya. “Bakau ditanam di tambak orang, bakaunya untuk dia. Sama kayak yang saya tanam sepanjang puluhan kilometer di sungai, semua untuk lingkungan. Penanaman di sepanjang sungai ini dibantu teman, kita ada kelompok tanam bakau,” terang Azhar. Jadi, tatkala ada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mensponsori, maka Azhar mengajak teman-temannya untuk melakukan pembibitan dan menanam bakau. “Kalo nggak ada dana (dari LSM) saya nggak berani ngajak orang, tapi saya lakukan sendiri saja,” tegasnya. Dari 10 pohon bakau yang ditanam, Azhar hakul yakin 8 pohon bakau itu bisa hidup: tumbuh dan berkembang. “Yang nilai bukan saya, tapi orang-orang bule (asing). Pernah tahun 2007 dan 2008, bakau saya dicabut dan dibawa ke Bali. Ditanam di Bali untuk konferensi. Ditimbang beratnya, usianya dan dibawa ke pesawat. Bagus katanya, usia muda sudah besar,” katanya beralasan.
Bakau-bakau Azhar tidak hanya tumbuh, tapi juga terus meluas lahan pembibitannya. Beberapa lembaga internasional lain seperti World Wild Life (WWF), Pemerintah Jepang dan Asian Development Bank, tertarik terlibat sedemikian sehingga total keseluruhan lahan penanaman bakau yang menggunakan jasanya mencapai 35 hektar.
“WWF menyebut saya pahlawan penyelamat lingkungan,” kata Azhar. “Padahal, saya tidak tahu apa itu lingkungan. Yang saya tahu, bakau berguna untuk tambak,” katanya sambil tertawa. WWF berhasil mengusulkan Azhar menjadi pembawa obor Olimpiade Beijing tempo hari, ketika estafet obor itu melintas ke Indonesia.
Obor Olimpiade Beijing
Pertengahan 2007 lalu, telepon genggam milik Azhar Idris tiba-tiba berdering. Di layar muncul nama Zubeidah Nasution. Staf komunikasi World Wide Fund (WWF) Aceh Program itu membawa kabar gembira: Azhar terpilih sebagai pembawa obor Olimpiade 2008. Kabar ini membuat Azhar kebingungan. “Saya sama sekali tidak percaya,” kata Azhar saat dijumpai akhir Maret lalu. “Saya bilang ke orang WWF, tidak mungkin petani dan tak berpendidikan seperti saya membawa obor Olimpiade.”
Azhar memang tidak sedang bermimpi. Pada 22 April 2008, Azhar menjadi bagian dari 80 pembawa Obor Olimpiade di Jakarta. Lelaki asal Desa Lam Ujong, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar, ini terpilih sebagai pembawa Obor Olimpiade Beijing karena kegigihannya melestarikan lingkungan di sekitar. Azhar Idris dipilih oleh WWF dan perusahaan minuman ringan Coca Cola Company, bersama Emil Salim (mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup), Nirina Zubir (duta WWF), Valerina Daniel (duta lingkungan), Tri Mumpuni (aktivis lingkungan), dan Nugie (artis).
Membawa Obor Olimpiade merupakan sebuah kebanggaan dan pengalaman berharga bagi pria berkulit legam ini. Apalagi, Obor Olimpiade baru tahun ini melintasi Indonesia. “Saya bangga sekali. Mungkin juga seluruh Aceh bangga. Ada putra Aceh yang bisa membawa obor Olimpiade setelah terkena musibah tsunami,” kata Azhar sambil memperlihatkan foto obor yang dibawanya di Gelora Bung Karno, Jakarta, 22 April silam.
Terpilihnya Azhar menjadi pembawa Obor Olimpiade bukan tanpa alasan. Saat seleksi, WWF mengajukan dua nama warga Aceh untuk dinominasikan sebagai pembawa obor Olimpiade, yaitu Azhar Idris dan seorang petani yang menaman pinus di atas lahan kritis seluas 30 hektar di Aceh Tengah.
“Kata ibu Ade (WWF), pihak Coca Cola senang dengan Pak Azhar. Apalagi pascatsunami, susah mengampanyekan penghijauan kembali pesisir pantai yang rusak,” ujar Azhar sambil menirukan kembali kata-kata dari Zubeidah Nasution, staf komunikasi WWF.
Berkat suksesnya, belakangan Azhar sering diundang menjadi pembicara dalam beberapa konferensi lingkungan di Jakarta. “Saya senang,” katanya, “berkat bakau saya bisa tidur di hotel mewah, bertemu dengan pejabat tinggi dan berkenalan dengan artis-artis seperti Luna Maya, Nirina Zubir dan Valerina Daniel,” ungkap Azhar sambil tertawa.
Pengalaman mengelola bakau pascatsunami membuat Azhar semakin matang. Azhar tak hanya dikenal sebagai petani bakau di Lam Ujong, tapi dia sudah malang-melintang di dunia bakau. Dia kerap menerima undangan untuk berbagi pengalaman menanam bakau. “Terkadang kalau ada kesempatan, saya disuruh membagi pengalaman bagi petani bakau di beberapa daerah di Aceh,” ujarnya ramah. “Tapi jangan suruh saya jadi pemateri, karena saya tidak bisa menyampaikan apa-apa. Saya hanya bisa di lapangan.”
Kini bakau sudah menjadi teman kesehariannya. Dan dari ujung bakau pula, Azhar mendunia: menjadi pembawa Obor Olimpiade. “Saya tidak pernah bermimpi bisa membawa obor ini, apalagi saya petani yang tidak berpendidikan,” katanya merendah.
Pembibitan dan Pemanfaatan Bakau
Azhar yang hanya sempat mengenyam pendidikan hingga di bangku sekolah dasar nyatanya sangat ahli dalam dunia “perbakauan”. Pengalaman dan pengetahuannya bahkan membuatnya kerap diundang sebagai pembicara maupun diminta mengajarkan proses pembibitan dan penanaman bakau di sekolah dan universitas. Menurut Azhar, bakau berbeda dengan tanaman lainnya. Bakau hanya bisa dikembangbiakkan melalui biji (buah) dan tidak bisa di-stek. “Proses pembibitan yang baik itu, tanahnya diisi polybag, supaya dia bagus kita buat naungan daun kelapa, biar nggak kena matahari, 2-3 bulan keluar daunnya baru dicabut. Dan yang penting juga harus kena air pasang–surut, kalo nggak kering dia,” kata Azhar berkisah, “kalau untuk di pinggir sungai yang arusnya deras, kita buat penjepit agar batangnya bisa kuat menahan air.” Masa paling kritis dari menanam bakau adalah usia tanam pada 1-2 tahun. Jika sudah melewati masa itu maka bakau pun akan aman dan dapat tumbuh dengan sendirinya. Pohon bakau tidak memerlukan perawatan khusus, hanya saja ranting-rantingnya perlu dipangkas agar batangnya bisa tumbuh lurus dan besar.
Fungsi dan peran hutan bakau (mangrove) dalam ekosistem memang cukup vital. Bagi petambak seperti Azhar, bakau membuat konstruksi pematang tambak menjadi lebih kuat karena akan terpegang akar-akar bakau. Begitu pula pejalan kaki akan lebih nyaman berjalan di atas pematang karena dirimbuni tajuk tanaman bakau. Ketiga: daun bakau dapat digunakan sebagai makanan untuk ternak, dan buahnya dapat dijadikan berbagai macam penganan manusia. Keempat: Keanekaragaman hayati akan meningkat (termasuk bibit ikan alam, kerang, dan kepiting). Kelima: mencegah erosi pantai dan intrusi air laut ke darat. Keenam: kualitas air tambak menjadi lebih baik karena fungsi perakaran bakau dapat ‘menyaring’ limbah padat dan mikroba yang terdapat pada hutan bakau. Ketujuh: terciptanya sabuk hijau pesisir (coastal green belt) dan mengurangi dampak global warming. Kedelapan: bakau akan mengurangi dampak bencana alam seperti badai dan gelombang air pasang, sehingga kegiatan-kegiatan usaha maupun pemukiman di sekitarnya dapat terselamatkan.
Dengan semakin berkembangnya pengetahuan dan inovasi, kini fungsi bakau bukan hanya sebagai tanaman pelindung abrasi di pantai maupun sebagai tempat ekosistem air berkembang biak, tetapi sudah ada yang berhasil memanfaatkan bakau menjadi tanaman yang bernilai ekonomis. “Saat ada pelatihan di Kampung Jawa, disitu disebutkan kalau bakau bisa dibuat sirup dan kue bolu. Di Bali bahkan buah bakau bisa dibuat rujak,” terang Azhar. Saat ini Azhar sendiri belum bisa mengolah buah bakau menjadi penganan, namun dia berharap suatu saat hal ini bisa dilanjutkan oleh putranya. “Saya di sini belum bisa buat itu. Kalo bisa (bikin), di sini lebih bagus lagi. Paling nggak nanti kalau saya nggakbisa, anak saya bisa lanjutin,” harapnya. Fungsi lainnya adalah kayu bakau juga bisa dimanfaatkan untuk membuat tiang-tiang rumah ataupun bangunan. “Kayu yang paling kuat itu kayu bakau,” kata Azhar meyakinkan.
Banyak pelajaran dan pengalaman yang diperoleh Azhar selama melestarikan hutan bakau di wilayahnya. “Dulu kan nggak pernah ketemu pejabat dan orang-orang pintar, tetapi sekarang ketemu menteri aja bisa. Padahal saya kan bodoh, nggak ada pendidikan, tapi bisa kenal banyak orang pintar dan terkenal,” terang Azhar. Sementara dukanya adalah masalah ekonomi, dimana saat tak ada yang memesan bibit-bibit bakau maka ia praktis hanya mengandalkan pemasukan dari pembuatan garam untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari ia dan keluarganya. Beruntung kini sang istri juga sudah mulai bekerja di pabrik pembuatan batu bata sehingga dapat menambah penghasilan keluarga. “Prinsipnya yang penting mau kerja dan nggak malu. Mungkin orang lain nggak mau nanam (buat) garam, (bikin) kuit hitam, tapi bagi saya yang penting halal,” tegasnya.
Azhar berharap apa yang dirintis dan dilakukannya ini dapat diteruskan oleh anak-anak muda, terutama anak-anaknya. Sambil menatap pokok-pokok bakaunya, Azhar berucap, “Jadi nanti kalo saya udah tua dan udah nggak sanggup lagi tetap ada yang akan meneruskan.” tutup Azhar. [Berbagai sumber]
Sumber : tzuchi.or.id, pantau.or.id, facebook.com, wwf.or.id, wetlands.or.id, blogspot.co.id
One comment
Pingback: Melalui Geotag, Mangrove Pesisir Aceh Tak Sekedar Penjaga Serangan Abrasi - Aceh Insight