Communication Officer Yayasan WWF, Chik Rini mengatakan, banyaknya gajah mati di Aceh disebabkan karena rusaknya habitat gajah yang sebagian telah beralih fungsi menjadi lahan-lahan sawit dan pertanian.
Jumlah kematian gajah dari tahun 2012 hingga sekarang diperkirakan mencapai 40 ekor. Ini merupakan angka fantastis dari empat tahun terakhir dalam satu provinsi. Pasalnya, diperkirakan jumlah gajah yang tersisa di Aceh hanya 500 ekor.
“Permasalahan habitat gajah yang beralih fungsi ke lahan sawit dan lainnya ini berakibat konflik kepada manusia. Adapun wilayah yang rawan konflik antara gajah dan manusia hampir mencapai 2/3 kabupaten kota yang ada di provinsi Aceh,” jelas Chik Rini, Jum’at (27/11) di Banda Aceh.
Hanya saja, menurutnya, masih ada daerah yang jarang terdengar konflik antara gajah dengan manusia yaitu Banda Aceh, Sabang, Simeulue dan Aceh Singkil.
Selain itu, ia juga menyayangkan hingga kini tidak ada penanganan konflik yang tuntas oleh pemerintah dan ditambah lagi lambatnya persiapan terhadap penanganan konflik gajah tersebut.
Ia juga berharap agar ada pemetaan dari pemerintah terhadap wilayah habitat gajah yang tidak terakomodir dengan baik. Pemerintah harus merehabilitasi koridor-koridor gajah Aceh tersebut dan harus diatur dalam tata ruang provinsi Aceh.
“Agar kematian gajah dan konflik dengan manusia tersebut tidak terulang lagi, maka penegakan hukum harus dibuat supaya ada efek jera bagi oknum-oknum yang mencoba merusak dan membuat habitat gajah,” harapnya.
Kemudian, ia juga berharap pemerintah memastikan masyarakat tidak membuka lahan pada area habitat gajah dengan cara melakukan pembinaan. [www.ajnn.net/27 November 2015, 23:00 WIB]