Templates by BIGtheme NET
Home » Activity » Aceh Perlu Segera Miliki Qanun Perlindungan Satwa

Aceh Perlu Segera Miliki Qanun Perlindungan Satwa

Diskusi Publik Mendorong Kebijakan Perlindungan Satwa di Aceh yang dilaksanakan di Aula Fakultas MIPA Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Kamis (19/10/2017).

Acehinsight.com, Banda Aceh – Sebagai propinsi dengan otonomi khusus yang memiliki kewenangan untuk mengelola kawasan hutannya, Aceh perlu memiliki Qanun Perlindungan Satwa Liar. Cara ini adalah upaya untuk menyelamatkan satwa-satwa dari kepunahan akibat hilangnya habitat, putusnya koridor satwa, konflik satwa dan manusia serta perburuan dan perdagangan illegal.

Hal ini disampaikan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Bardan Sahidi dalam Diskusi Publik Mendorong Kebijakan Perlindungan Satwa di Aceh yang dilaksanakan di Aula Fakultas MIPA Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Kamis (19/10/2017). Hadir dalam diskusi ini 200 peserta dari civitas akademika Unsyiah, UIN Arranirry, Universitas Iskandar Muda, Universitas Serambi Mekkah, Majelis Adat Aceh, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh, dan LSM lingkungan.

Bardan Sahidi menyampaikan adanya qanun perlindungan satwa di Aceh merupakan usulan inisiatifnya sebagai anggota dewan sejak 2015. Sayangnya sampai saat ini pembahasan qanun ini belum menjadi prioritas di DPRA. “Kondisi hutan dan satwa di Aceh saat ini dalam kondisi yang mencemaskan. Aceh sangat perlu segera memiliki qanun perlindungan satwa. Untuk itu perlu dukungan banyak pihak agar qanun ini segera dibahas di DPRA,” kata Bardan Sahidi.

Diskusi Publik ini dilaksanakan oleh FMIPA Jurusan Biologi Universitas Syiah Kuala bekerjasama dengan WWF Indonesia. Hadir sebagai pemateri lainnya adalah Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh Saminuddin B Tou, Iptu Sudjono penyidik dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Aceh, Suhaimi Hamid dari DPRK Bireuen dan Chairul Saleh dari WWF Indonesia.

Iptu Sudjono dari Polda Aceh memberikan dukungan terhadap adanya qanun perlindungan satwa di Aceh.
“Jika produk qanun itu sudah disetujui oleh legislatif pihak kepolisian akan menjalankan qanun itu,” kata Sudjono.

Menurutnya kasus-kasus kejahatan satwa di Aceh cukup tinggi terutama untuk kegiatan perburuan dan perdagangan ilegal. Sejak 2014-2017 Polda Aceh telah menangani 15 kasus kejahatan satwa liar dengan jumlah tersangka sebanyak 35 orang. Saat ini Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya yang sering dipakai sebagai dasar hukum dalam kasus kejahatan tumbuhan dan satwa liar penerapannya masih lemah karena hanya menjerat pelaku kejahatan satwa hukuman maksimal 5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta. Kebanyakan kasus divonis dengan hukuman rata-rata 1-2 tahun penjara.

“Kita berharap ada Undang-Undang atau aturan yang mengatur sanksi hukum yang lebih berat sehingga memberi efek jera bagi pelaku kejahatan satwa,” kata Sudjono.

Dede Suhendra dalam sambutannya menyampaikan kita harus segera mencari jalan keluar terhadap permasalah yang terjadi saat ini seperti konflik manusia dan satwa terutama gajah. Sejak 2012 tercatat lebih 45 ekor gajah mati di seluruh Aceh, ada yang hilang gading. Selain itu korban manusia dan harta benda juga terjadi. WWF juga memantau kegiatan perburuan dan perdagangan harimau yang terjadi setiap tahun.

“Sebagai daerah otonomi khusus Aceh memiliki peluang untuk memperkuat upaya perlindungan satwa melalui qanun dengan memastikan perlindungan habitat dan koridor satwa dari dampak pembangunan infrastruktur, serta penegakan hukum terhadap kejahatan satwa,” kata Dede Suhendra.

Ketua Jurusan Biologi FMIPA Unsyiah, Betty Maulya Bustam memberikan dukungan penuh terhadap semua upaya yang dilakukan untuk melindungi satwa liar Aceh dari ancaman kepunahan. “Kami memberi dukungan kepada semua upaya untuk konservasi biodiversitas di Indonesia khususnya untuk melindungi habitat dan satwa di Aceh,” kata Lia.

Menurut Lia, UU No 5 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya saat ini sudah kurang relevan dalam menghadapi situasi yang mengancam perlindungan satwa di Indonesia.

[Galeri Foto] Diskusi Publik Mendorong Kebijakan Perlindungan Satwa di Aceh

Sementara itu Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh, Saminuddin B Tou menyampaikan Aceh belum memiliki qanun perlindungan satwa secara khusus. Namun Pemerintah Aceh mengeluarkan banyak regulasi kehutanan yang diharapkan juga bisa mengatur permasalahan satwa liar. “Untuk menangani konflik gajah dan manusia kami juga membangun 7 Conservation Respons Unit di seluruh Aceh,” kata Saminuddin.

Chairul Saleh dari WWF Indonesia dalam paparannya menyampaikan ancaman terbesar kelestarian satwa saat ini adalah meningkatnya perburuan dan perdagangan illegal. Indonesia menjadi sumber satwa yang diperdagangakan lintas negara. “Satwa-satwa khas Indonesia seperti burung enggang gading, harimau sumatera, gajah sumatera saat ini menjadi target perdagangan dengan pasar hingga ke China,” katanya.

Suhaimi Hamid dari DPRK Bireuen menyampaikan kabupatennya merupakan satu-satunya kabupaten di Aceh yang memiliki qanun perlindungan satwa di Aceh. Qanun itu mengatur pengelolaan koridor satwa terutama gajah agar tidak diganggu oleh kegiatan pengembangan budidaya seperti perkebunan kelapa sawit.

“Qanun ini merupakan inisiatif dari DPRK Bireuen. Sayangnya komitmen pemerintah Bireuen dalam pelaksanaan qanun ini setengah hati. Dan ada upaya untuk menghapus qanun ini di Bireuen karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang kewenangan pemerintah daerah,” ungkap Suhaimi. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

ăn dặm kiểu NhậtResponsive WordPress Themenhà cấp 4 nông thônthời trang trẻ emgiày cao gótshop giày nữdownload wordpress pluginsmẫu biệt thự đẹpepichouseáo sơ mi nữhouse beautiful