Acehinsight.com – Konflik antara gajah dan manusia dapat diminimalisir jika adanya pemahaman yang baik dari masyarakat terhadap aktifitas satwa liar dilindungi ini. Demikian yang disampaikan oleh Koordinator Mitigasi Konflik Gajah-Harimau WWF Indonesia, Syamsuardi pada acara Pelatihan Penanganan Konflik Gajah dan Manusia (KGM) yang diadakan di Desa Karang Ampar, Ketol, Aceh Tengah, Selasa (6/12/2016).
“Dalam penanganan konflik, manusia harus membangun komunikasi dengan gajah. Jika gajah masuk ke pemukiman penduduk, manusia harus bisa menggiring gajah agar kembali ke habitatnya. Penanganan konflik ini yang paling penting untuk manusia. Pastinya, manusia harus mengetahui aktivitas gajah itu bagaimana. Gajah tidak akan keluar jika trek jalan dan habitatnya tidak diganggu,” jelasnya.
Kala Acehinsight.com berkunjung selama dua hari di Karang Ampar minggu lalu, beberapa pihak yang terlibat dalam kegiatan ini meliputi tim Disbunhut Aceh Tengah, WWF, Yayasan Penyelamatan Satwa Bener Meriah, media lokal serta warga Desa Karang Ampar dan Desa Bergang.
Selain menerima teori tentang cara penggiringan gajah, Syamsuardi juga menjelaskan antara lain perilaku gajah, bahasa atau kode yang diberikan gajah saat menghadapi manusia atau hewan lain, serta alat dan cara efektif untuk penggiringan gajah.
“Prinsip penggiringan gajah, tidak boleh ada gajah dan manusia yang menjadi korban. Jaga kekompakan, semua saling menggadaikan nyawa saat menghadapi gajah,” ujarnya.
Pantauan Acehinsight.com, beberapa peserta nampak sangat antusias terhadap kegiatan Penanganan Konflik Gajah dan Manusia (KGM) tersebut. Kegiatan simulasi pun dilakukan langsung di lokasi penggiringan gajah yang merupakan jalur keluar masuk gajah di areal Aceh Tengah.
Korban jiwa saat penggiringan terjadi karena kurangnya pemahaman. Dalam kasus tewasnya warga seperti beberapa tahun lalu, Syamsuardi mengatakan, kesalahannya terletak pada pengepungan. “Kalau dikepung, gajah malah bingung, tidak tahu harus bergerak ke mana.” lanjutnya.
Menurut dia, penggiringan gajah harus menyisakan ruang bagi gajah untuk bergerak ke arah yang tepat. Selain itu, saat melakukan penggiringan gajah harus sabar, tenang, tidak boleh berada pada jarak terlalu dekat dengan gajah.
“Ketika menghadapi gajah, tenang. Perhatikan telinganya. Gajah akan menegakkan telinga saat berhadapan dengan manusia. Dia pun perlu berpikir apa yang harus dilakukan. Tunggu sampai gajah mengibaskan telinganya,” ungkap Syamsuardi.
Begitu gajah tenang, penggiringan dilakukan. Jarak manusia dengan gajah harus dijaga agar tak ada yang menjadi korban kepanikan gajah. Syamsuardi juga mengajak warga untuk tidak menggunakan baju warna terang dan tak menggiring gajah pada malam hari.
Penggiringan gajah berbasis suara. Namun, sumber suara perlu diperhatikan sehingga efektif menggiring gajah. Suara harus keras, memberi petunjuk pada gajah untuk lari ke arah yang tepat, serta tidak memicu kepanikan gajah.
Mercon, kata Syamsuardi, sebenarnya menghasilkan suara keras. “Tapi ledakannya berkali-kali. Gajah malah panik dan terus berlari kalau mendengar. Akhirnya malah tidak ke tempat yang tepat,” jelasnya.
Meriam merupakan sumber suara yang tepat. Bukan meriam betulan, melainkan meriam karbit yang berbahan pipa pralon. Syamsuardi mengungkapkan, penggiringan gajah sumatera dengan meriam terbukti efektif berdasarkan pengalaman di Riau.
Adapun meriam berbahan baku perpaduan dari besi dan pipa pralon besar itu tidak digunakan untuk ditembakkan ke arah gajah. Namun sebaliknya, alat tersebut digunakan untuk ditembakkan untuk mengarahkan gajah ke jalan keluar.
“Proses menggiring yang baik adalah membuat gajah-gajah itu mengikuti kemauan kita. Bukan sebaliknya. Dengan demikian, gajah-gajah itu bisa dikeluarkan dengan aman,” ujar Syamsuardi saat memberi arahan pada Operasi Penanganan Konflik Gajah dan Manusia (KGM).
Disampaikannya juga, bahwa proses menggiring gajah sebaiknya dilakukan dengan formasi membentuk huruf ‘U’. Dimana gajah dapat digiring dengan mudah dan terkepung dengan seruan maupun ledakan meriam karbit yang sudah disiapkan.
“Gajah itu perasaannya seperti manusia. Suka usil dan merajuk juga. Jadi kalau tak pintar merayunya ya susah juga mau menempatkan gajah nya harus bagaimana,” terangnya.
Zulfikar Ahmad dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Aceh Tengah, berharap betul pemerintah daerah Aceh menaruh perhatian pada masalah konflik gajah dan warga Aceh. Tuntutannya bukan hanya dukungan pada upaya penggiringan gajah, tetapi juga menjaga habitat hewan yang populasinya makin turun itu.
“Kami berharap dalam konteks yang lebih luas pemerintah bisa menyiapkan lahan yang cukup untuk gajah. Harus ada kerja sama antara bupati di empat kabupaten yang difasilitasi oleh gubernur,” ungkapnya.
“Perlu memetakan area yang layak untuk gajah sehingga tidak berkonflik dengan manusia. Manusia kemudian dibatasi untuk masuk ke lingkungan tempat hidup gajah. Kita harapkan ini bisa dianggap sebagai masalah besar,” imbuhnya.
Karena sebabnya adalah masalah hutan, Syamsuardi mengatakan, penggiringan hanya salah satu cara melerai konflik gajah sumatera dengan manusia. Penggiringan bisa diibaratkan seperti obat pereda rasa sakit. Hanya mengurasi rasa sakit, tetapi tidak menyembuhkan penyakitnya.
Mengilustrasikan, Syamsuardi mengatakan bahwa gajah punya jalur migrasi permanen. Induk menurunkan pada anak-anaknya. Hanya jantan yang membuka jalur baru. Jadi, rentang area jelajah gajah sebenarnya sudah jelas.
Sekali dihalau, gajah akan pergi. Namun, pada waktu berikutnya, gajah bisa kembali ke area yang sama karena sudah merasa merupakan jalurnya. Alhasil, penghalauan melelahkan harus dilakukan terus-menerus. “Itu adalah konsekuensi,” kata Syamsuardi.
Menjelang sore, operasi penggiringan gajah gajah itu pun berakhir. Seluruh peserta beserta pendamping berkumpul bersama untuk menutup kegiatan. Pasca pelatihan tersebut, diharapkan para warga dapat bekerja sebagaimana materi simulasi dan teori yang sudah diberikan sebelumnya.
Untuk mengatasi amukan gajah sumatera, obat mujarabnya memang menjaga hutan yang ada. Dibutuhkan tindakan-tindakan nyata untuk melindungi hutan alam Sumatera yang tersisa agar generasi Indonesia di masa yang akan datang dapat mewarisi kekayaan alam, khususnya gajah dan satwa besar lain seperti harimau, orangutan dan badak di alam. []